Rabu, 31 Maret 2010

Ritual Hati Sang Dewi

“Hei!”, aku berteriak sekali lagi, lebih keras. Tapi, bukannya menoleh anak itu malah lari pontang-panting tak karuan. Gila! Cepat banget tu anak. Larinya lincah, padahal kebun ini masih termasuk hutan. Kupikir.... dia seperti... Dewi. Dewi Hutan. Pakaiannya putih dan hijau lembut sebetis. Kepalanya dibalut dengan semacam selendang hijau, juga lembut. Tapi, bajunya bukan seperti baju sekarang ini. Hanya kain yang dibelit-belit hingga membentk baju. Akh! Lagi-lagi, aku selalu berpikir dia Dewi. Tapi, memang wajar kalau kusebut Dewi. Sudah seminggu aku tinggal di sini. Dan sudah dua kali aku bertemu dengannya.

Aku menepuk-nepuk lengan kiriku dengan ngeri. Kalau aku perempuan, pasti aku sudah menjerit-jeritdari tadi, soalnya ini hutan masih berupa hutan belantara. Dan yang namanya ular, kalajengking, sampai ulat dan sebangsanya itu masih ada. Tapi, semua mata yang memandang tak dapat memungkiri bahwa betapa indah dan sejuknya hutan ini, mungkin hewan-hewan itu bagian dari kecantikannya yang tersembunyi dibalik kemistisan hutan ini. Ya! Hutan ini memiliki aura yang misterius dan lembut. Seperti.... seorang perempuan. Lembut yang misterius. Cantik.
“Hei! Kau habis dari sana lagi ya?” Ham merenggut lamunanku dari.... hutan dan.... Dewi itu ( Ya, untuk sementara kupanggil dia Dewi). Aku berbalik.
“Dari mana kau tahu Pak Rt?” Aku sengaja menekan kata Pak RT. Dan sudah pasti, kalau begitu Ham akan keki. Balasan. Karena, dia telah berani mengganggu keasyikanku. Karena takut Ham terlalu lama cemberut, aku buru-buru buka suara.
“Eh Ham, kamu tahu nggak tentang anak perempuan yang tinggal di ujung..... eh dimana ya, pokoknya di sekitar hutan sini deh.” Mendengar begitu ham malah ngerut. Bingung.
“Aaak perempuan, hutan....?” dia terdiam sebentar.Mungkin berpikir, atau hanya meniru adegan film detektif yang pemeran utamanya lagi mikir. “Oh! Mungkin yang loe maksud anak kera, bukan anak perempuan.” Keki mendengar jawabannya yang kalem asal itu, aku jitak kepalanya yang botak (Jangan meniru adegan ini!)
“Eh botak! Gue nanya tu bener-bener.”
“Ya elu sih, nanyain anak kera. Kayak yang nggak ada cewek aja di sini.”
Habis ngomong itu, dia dengan gesit mencabut satu bulu kakiku. Ni orang emang gila. Nggak mau kalah. Dasar anak Pak RT yang aneh. Masih penasaran aku melanjutkan.
“Yakin loe Ham, Cuma ada ank kera di hutan sana itu?” aku menunjuk hutan yang terlihat dari rumah ini.
“Kagak! Di sana juga ada anak rusa , anak ular dan..... anak jin! Hahahaa...” Bukannya aku termasuk orang yang nggak sabaran. Tapi, gregetan!
“Kampret! Sini loe!” Ham berusaha mengejarku yang cengengesan. Berhasil menculik benda kesayangannya. Gantungan kunci berbentuk gadis kecil berkepang dua.
“Sedang apa kalian ?” Aku buru-buru berhenti, begitu juga Ham.
“Oh Bapak. Ada apa Pak ?” Ham menyilakan ayahnya masuk. Sementara Pak Hadi, ayahnya Hamka sekaligus ketua RT itu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Gini lho Ham, kalau kamu dan temanmu nak Hendra nggak keberatan, Bapak mau, besok kalian berdua menggantikan bapakmu ini untuk mengawasi pembuatan jalan menuju hutan suling.”
“Baik Pak. Memangnya untuk apa dibuat jalan Pak, toh di sana nggak ada yang huni?” Aku ikut nimbrung. Berharap dapat informasi tentang Dewi-ku itu.
“Nak Hendra ini gimana to, sebentar lagi hutan itu akan dibuat Kebun Warga. Ya... seperti kebun cokelat gitu.”
Aku hanya membulatkan mulut. Sedikit kecewa. Tak dapat yang diinginkan.
Setelah mendapat persetujuanku dan Hamka, beliau pamit. Kembali keruangannya yang sederhana. Beberapa menit kemudian kami tertidur.
***
Mentari hari ini begitu bersahabat. Hangat, cerah, dan lembut. Aku dan Ham berdiri, sibuk dengan pikiran masing-masing, memperhatikan warga yang gotong royong membuat jalan. Bosan dengan rutinitas melamun, aku pergi ke selokan yang agak jauh dari sini. Niatnya mau cuci kaki yang penuh lumpur.
Ketika sedang asyik dengan acara cuci kaki itu aku terhenyak, buru-buru ku pasang telinga, untuk menyakinkan apakah benar yang ki dengar itu suara seruling. Untuk beberapa saat aku hanya terdiam bengong. Kemudian, ku cari asal suara itu. Siapa gerangan yang memainkan seruling dengan begitu merdu dan indah itu. Apalagi ditengah hutan. Makin penasaran aja aku.
Aku makin yakin kalau asal suara itu berasal dari balik rerimbunan pohon didepanku. Dengan hati-hati, aku brjalan kesumber suara. Aku terpana,,, Apa yang kulihat sangatlah memukau… dan luar biasa mistik. Menggetarkan hati, melayangkan tubuh, pokoknya gak ada kata ataupun kalimat yang dapat menjelaskan apa yang kulihat. Hnay mata yang tau, betapa luar biasanya pemandangan ini.
Wanita… Oh tidak !!! mkasudku Dewi itu,, ini sudah ke-3 kalinya aku melihatnya. Dan pada tiap kali itu, selalu saja ada keindahan yang bertambah pada dirinya.
Dan sekarang… Dia… Baiklah!! Ku gambarkan situasinya, Dia duduk… diatas dahan kayu, kakinya yang indah putih terayun-ayun di udara, baunya ikut berjatuhan lembut… rambutnya panjang & indah menari-nari di mainkan angin… bajunya berwarna coklat tanah… Dan satu hal yang paling penting dari adegan ini adalah… dia sedang meniup seruling… Suara serulingnya begitu khusyuk, bagai dzikir di malam… menghangatkan qalbu…
Aku bagi tersihir, tanpa sadar, aku berjalan kearahnya. Tapi, sang Dewi tak mengetahui, dia asyik dengan serulingnya. Aku hanya berdiri, makin terpana… didepanya.
Tiba-tiba permainan serulingnya yang bagai sihir itu berhenti. Matanya membelalak kaget, Dia berdiri. Tanpa sepatah katapun, lari. Tapi, tanpa pikir panjang panjang, aku mengejarnya. Berusaha meraih tangannya diantara barisan-barisan pohon dan juga tanaman liar cantik lainya.
Dia tak menghiraukan teriakanku. Pdahal aku sudah sangat jauh mengejarnya. Ah… peduli apa dengan trsesat. Aku sudah menemukannya. Gak akan kulepaskan!! Sejauh apapun ia berlari, meskipun is anak siluman atu sejenisnya, aku gak peduli. Yang terpenting untuk saat ini adalah, aku gak peduli yang terpenting saat ini adalah, kau tahu siapa sebenarnya dia. Oh… Dewi! Kenapa kau begitu misterius??... aku sungguh semakin penasaran.
Ketika sdikit lago surge itu ku rauh dan kupegang, aku terperosok. Tidak banyak yang kuingat. Tapi, sebelum aku benar-beanr tak sadr, aku sempat melihat wajah rembulan didepanku itu trlihat khawatir.

***
Perlahan ku buka mata, kurasakan sakit pada pergelangan kakiku. Tapi, ada sesuatu yang menyentuh dahiku.
“Mmm… aeu..eu…!” Aku mendengar suar erangan lembut. Dan saat mataku terbuka sempurna, aku merasa tubuhku melayang… ringan. Sepasang bola mata indah menatapku takut-takut. Indah… mata hitam dalam, aku bagai tenggelam di kedalaman tatapannya. Lalu… matanya yang indah itu, dikelilingi oleh pagar lentik, lebat bulu mata. Kulitnya… putih bak susu, kontras dengan warna rambutnya yang hitam panjang bergelombang. Hidungnya anggun, segaris dengan bibirnya yang kecil ranum, untuk meyakinkan bahwa dia adalah seorang manusia, aku menyentuh tangannya yang bersinar.
“Eh, ma.. maaf.. Anda... anda terperosok ke dalam jurang.. ja..jadi saya.. saya… oh, maaf! Anda untuk saat ini tak boleh bergerak terlebih dahulu.”
Oh.. ternyata dia memang seorang manusia, kuucap syukur pada-Mu. Sesuatu yang begitu indah dan sacral ini ternyata dapat kuraih. Meski aku harus tenggelam bila meraihnya.
“Bolehkah aku tahu siapa sebenarnya engkau?” aku memulai dengan satu pertanyaaan yang selama ini membuatku selalu penasaran. Dia diam. Kemudian melangkah menuju ruangan sebelah. Aku perhatikan ruangan ini. Saat aku sadar, ternyata ada yang ganjil dengan suasana luar rumah ini. Penasaran aku beranjak menuju jendela disamping pembaringanku. Oh, ternyata rumah ini berada di atas pohon. Rumah pohon. Aku tercenung menyaksikan semua itu.
“ Tuan…” aku berbalik mendengar suara yang bagai buluh rindu itu.
“Makanlah ramuan ini!”
Teringat kejadian tadi siang, aku meminta maaf. “Tolong, maafkanlah kelakuanku tadi siang. Aku telah membuatmu repot dengan kelakuanku.”
Melihat ekspresinya kupikir dia akan marah. Tapi, dia malah melangkah ke arah jendela. Dengan background malam bintang. Dia duduk di atas dudukan sebelah jendela. Tanpa bisa kutebak, dia kemudian meniup seruling. Indah.. suara seruling, dan yang meniupnya begitu indah dan syahdu. Aku hanya diam. Tak bisa bergerakpun berkata. Meliuk berlayar dalam permainannya, seakan kurasakan dalam dirinya. Begitu dalam menyentuh kalbunya.
Permainannya berhenti. Dia beranjak menuju lemari disebelahnya, kemudian mengambil sesuatu, Koran. Aku yakin bahwa itu adalah Koran. Tapi, ada apa dengan Koran itu, aku nggak tahu.
“Bacalah! Semoga kanda mengerti setelah membacanya.”
Tak bisa mengelak aku membacanya. Sebuah sobekan artikel yang kuyakin sudah lama sekali.
‘Seorang model cantik keluaran agency H dinyatakan hilang. Sebelum hilang, dia dinyatakan telah mengalami gangguan kejiwaan karena terlalu banyak mengalami tekanan. Umurnya yang baru beranjak remaja memang salah satu faktor…
Namanya Armi Kerta Kasih. Indah. Aku berhenti membaca, dan suatu keyakinan muncul. Bahwa Armi Kerta Kasih adalah namanya.
“2 tahun yang lalu…aku adalah seorang gadis yang paling beruntung. Hingga suatu hari ak baru menyadari seusatu. Betapa murahnya diriku ini. Tubuhku telah kupertontonkan, keindahan tubuhku sudah tak berharga lagi layaknya seorang perempuan. Ya! Disaat itulah aku berpikir tentang kesucian dan kemulian perempuan. Beruntung Tuhan masih menjagaku dari perbuatan laknat itu. Betapa sesuatu yang biadab itu akan menerkamku… hik…hik…hik.”
Aku terbengong. Dewiku…dia menangis. Ku tak menyangka, ternyata dia yang suci dan terlihat seperti tak tersentuh memiliki pengalaman batin seperti itu.
“Aku… membayar seorang dokter untuk berbohong pada public. Siapapun tak kuberitahu, kecuali ibuku yang suci itu… ibu yang selalu mengajariku tentang arti kesucian. Hanya surat yang ku tinggalkan untuknya. Agar dia tak usah khawatir dan tak usah mencariku. Karena anaknya ini sedang mencari sebuah arti dengan caranya sendiri…”
Dia berhenti, menarik nafas. Kemudian, kembali meniup seruling. Dalam dan anggun. Sungguh menumpulkan rasioku sebagai laki-laki.
“Apa kau tak merindukannya… maksudku ibumu…?” aku berusaha memberanikan diri bertanya. Walau dia sedang khusyuk.*
“Aku selalu mengiriminya kabar melalui temanku, dia sudah bekerja padaku selama 5 tahun. Begitupun sebaliknya dengan ibuku. Sekarang umurku 18 tahun, dua tahun… aku tidak betemu dengannya. Hanya hutan dan segala isinya yang selalu mengajariku, seperti menggantikannya untuk menuntunku. Sungguh… aku merindukannya. Aku sangat ingin mencium tangannya yang lembut. Ibuku… sungguh wanita yang sabar. Meskipun Ayah selalu berbohong, ibu hanya pura-pura tak tahu…”
Begitukah sisi hidupmu Dewi? Aku sangat ingin melindungimu, andai kau tahu, betapa aku sangat terkagum padamu. Tak pernah kutemui wanita sepertimu di masa ini.
***

Mentari pagi menyiramku dengan hangat. Aku mengerjap, mencoba membuka mata.
Oh, yang kemarin malam ternyata bukan mimpi. Buktinya, aku masih di sini di rumah ini. Rumah Sang Dewi.
Aku berjalan di atas papan rumah. Sengaja kuinjak agak keras. Untuk memberi tahu, bahwa aku telah bangun. Lama. Tak ada reaksi dari tuan rumah, aku buru-buru keluar. Berharap dapat melihatnya mandi mentari. Tapi, tak ada siapapun. Aku kembali masuk, menaiki tangga, kucoba menggedor pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Aku dorong pintu itu, terbuka. Aku memasuki kamarnya, kosong. Tak kulihat dia di sana. Berpikir. Duduk di atas kasur berseprei putih.
Tiba-tiba mataku membentur sesuatu, kertas. Aku meraihnya dengan harap-harap cemas. Menduga apa yang terjadi.
“Maaf… mungkin ini memang tak sopan. Aku pergi, untuk kembali padanya (Ibu). Kata-katamu yang kemarin mengingatkanku akan Ibu. Terima kasih. Telah menyadarkanku tentang jalan hidup manusia. Aku tak bisa hanya dengan bersembunyi di hutan ini. Aku harus berani dan tegar. Mudah-mudahan aku sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala jalan hidupku diluar sana, yang terkadang sulit untuk ditebak. Sekali lagi terima kasih…”
Aku lunglai, selesai membacanya. Mau menangis, tapi rasanya aneh. Akhirnya aku hanya tersenyum menanggapi satu ritual malam Sang Dewi. Kalau dipikir-pikir, ternyata begitu aneh dan tak biasa. Sengajakah Tuhan memberiku satu pengalaman yang mistis ini. Agar aku selalu berpikir tentang jalan hidup manusia yang terkadang sangat aneh. Mirip mimpi setelah bangun tidur. Hanya sekejap, aku terkulai diatas kasur. Tercium bau semerbak mewangi. Wangi… suci. Aku terperanjat! Teringat akan permainan suling dan ramuannya. ***

Tamat


^__________^
Takumi khuzuryu
…ck

2 komentar:

  1. prasa''n aku knal ma tulisan yg satu ini.....

    BalasHapus
  2. hi... Zah...
    hehehehe.... tak apa" kan...??
    manga bde di copas..

    BalasHapus